Sabtu, 22 Agustus 2015

Yang lebih biru di banding lautan.

Apa yang lebih biru dibanding lautan?
Pertanyaan itu menghampiriku saat mencoba menghitung buih yang pecah. Aku mulai membilangnya saat berdiri di buritan kapal–semua hanya biru, putih, biru muda, laut, ombak, dan buih. Kubiarkan rambutku diterbangkan angin. Aku senang berada di sini. Tak ada penyesalan ketika aku memutuskan untuk berkunjung.
“Nona.” Seorang pria tersenyum sopan dan berdiri berjarak denganku. Dia tersenyum. “Rambut Anda sangat indah,” pujinya, menatapku hormat.
Aku mengembangkan senyum malu-malu. “Terima kasih.”
Dia terdiam sejenak, lalu pamit kepadaku. Pria itu menyeberangi buritan, menuju selasar di bagian kiri kapal. Saat itulah, aku mengingat lagi tujuanku ke sini. Sosok yang berdiri di tepi pagar teras itu menyita perhatianku. Sejak tadi dia berada di sana, dilewati orang-orang dan tak ada yang berhenti menyapanya. Kehadirannya mungkin tak terdeteksi, atau orang-orang memang tak punya alasan apa pun untuk menghampirinya.
Belum lama sejak pertemuan kami di toko buku. Aku datang lagi ke tempat itu tapi tak pernah menemukannya lagi. Aku yang belum pernah melintas menuju masa depan pun melakukannya, untuk tahu apakah benar yang dikatakannya bahwa kami akan bertemu lagi. Agak sulit untuk menemukannya sebab aku hanya tahu namanya saja. Aku mengunjungi banyak masa depan yang mungkin terjadi, seringkali kembali dengan tagan kosong dan di sinilah, akhirnya aku menemukannya.
Ini bahkan bukan masa depan. Aku mundur beberapa tahun dan hanya berbekal doa saja.
Barusan dia membalas pandanganku dan sekarang dia berjalan ke arahku. Aku memalingkan wajah, lebih malu daripada ketika dipuji oleh pria tak dikenal tadi.
Dia menyunggingkan senyumnya yang lembut. Memberiku tatapan matanya yang teduh. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aku terhenyak. Dia bicara kepadaku seakan-akan kami pernah bertemu. “A-aku mau mengunjungi adikku.”
Dia mendekat dan berdiri di sebelahku. Aku menggelung rambut panjangku yang berantakan. “Kamu, mau ke mana?”
“Aku menemani sahabatku untuk melamar dan menjemput kekasihnya,” jawabnya.
Aku mengangguk. Dia juga membisu, lalu menghadap lautan. “Laut membuatku takut,” bilangnya.
“Dia terlalu cantik dan kamu takut tergoda?”
Lelaki itu menundukkan kepalanya dan tersenyum. “Aku harap bisa berpikir begitu. Aku selalu merasa laut akan menculik orang-orang yang dicintainya. Menenggelamkan dalam kecantikannya.”
“Kami bisa berenang dan menyelamatkan diri,” balasku. Ya, berenang. Air menyerap sihir. “Kamu penyihir?”
Kami bertatapan, dia tak langsung menjawab.
“Tanganmu. Tangan penyihir selalu kelihatan berbeda.”
Alisnya terangkat. “Oh ya?”
Aku mengangkat tangan, mengedepankan telapaknya ke arah lelaki itu. “Seperti penulis yang bagian-bagian tertentu tangannya mengeras karena dipakai untuk memegang alat tulis terus-menerus. Penyihir, punya gerakan tangan luwes dan halus. Dan bentuk tangan mereka pelan-pelan berubah sesuai itu.”
Lelaki itu memperhatikanku dengan sungguh-sungguh. Aku menghela napas panjang. “Kamu tidak suka menggunakan kelompok mantra yang sama terus-menerus, kan?”
“Ya, aku menggunakan berbagai sumber dan aliran,” katanya dengan kagum. “Aku bisa melakukan sihir air.”
“Aku tidak tahu apakah kamu menggodaku atau menganggap aku bodoh. Yang tersisa dari sihir air hanya mitos.”
Dia tidak kentara tersinggung. Malah dia mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Pada telapak tanganya, terbaring kuda laut kering. Warnanya putih susu. “Untukmu.”
Aku hanya diam.
“Kamu menginginkannya. Kamu bilang kepadaku.”
Aku merasa tak pernah.
“Pernahkah kamu bangun pagi dan tiba-tiba merasa merindukan seseorang yang tak pernah benar-benar kamu temui?” ujarnya. “Seolah-olah orang itu menyusup dalam masa lalumu dan menambahkan diri di sana. Dan kamu bertanya-tanya, mana ingatanmu yang sebenarnya–apakah aku seharusnya ada di kapal ini sendiri atau bersamamu?”
Aku menahan napas, tak bisa lepas dari pandangannya. “Maaf, aku hanya ingin tahu tentangmu, Hadrian.”
Sesaat kukira dia akan marah, namun tatapanya melembut. “Aku menunggu momen-momen ini, Arcadia,” katanya menarik tanganku dan meletakkan kuda laut itu di sana.
“Mengapa tidak datang saja langsung menemuiku?” tanyaku.
“Aku harus menunggu. Saat yang tepat.” Dia berdiri makin dekat denganku. “Apa saja yang sudah kamu lihat?” tanyanya.
“Kita bersama. Kita berpisah. Tapi kita akan bersama.” Aku menjawabnya dengan hangat. Meski ada masa depan yang kusembunyikan darinya. Satu yang sempat kukunjungi–yang membuatku tahu kami terjebak dalam tragedi dan saling menyalahkan pengetahuan kami. Aku menggigit bibir saat mengenang itu. Masa depan mana pun yang akan ada bagi kami, aku akan menjalani bersamanya.
Apa yang lebih biru dibanding lautan?
Kini aku mengetahui jawabannya. Sesaat lalu, ketika dia mengecup bibirku. Aku mengelus rahangnya yang kasar. Seluruh wajahku menghangat oleh deru napasnya. Kupejamkan mataku sejenak dan ciuman ini sungguh terasa akrab. Aku membuka mataku lagi, menatap mukanya yang tak berjarak. Memandang langit biru yang menjadi latar kami. Dan lautan, ombak, serta buih. Namun ada yang lebih biru dari semua itu.
Kedua bola matanya.
Aditiayudis#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar