Rabu, 21 Oktober 2015

Mengapa

Selamat malam, Tuhan.
Maafkan, kali ini datengnya pas ada maunya aja.
Tuhan sedang apa?
Tuhan ingat aku?

Hmm,
Iya, Tuhan. Aku berhenti basa-basinya.
Aku kembali ingin bertanya, Tuhan.
Setiap kali berbicara padamu, pasti aku ingin bertanya, Tuhan. Tak apa, ya? Jangan anggap aku menyebalkan ya, Tuhan. Aku tau, Engkaulah yang menciptakan alam semesta. Termasuk aku, serta kebebasanku dalam berfikir. Seluruhnya punyamu, Tuhan.

Begini, Tuhan.
Aku ingin bertanya.
Mengapa kau memilih membuat manusia berfikir bahwa mawar adalah lambang cinta?
Kenapa bukan tulip, melati, bunga sepatu, atau lainnya?
Atau..
Mengapa kau memilih membuat seluruh otak manusia berbeda?
Termasuk jalan fikiran mereka.
Aduh, Tuhan.
Rasanya ingin menenggelamkan diri dalam-dalam ketika mencoba memahami mereka satu-persatu.
Bukankah Engkau juga lelah, Tuhan?
Melihat satu persatu perbuatan hambamu?
Aku suka berfikir, sebenarnya, aku hidup untuk apa?
Banyak orang bilang, aku hidup untuk kembali padamu. Untuk menyebarkan kebaikan. Memberikan semua orang kebajikan yang aku punya.
Tapi seringkali, perbuatan baikku tak dihargai, Tuhan.
Bahkan mereka tak pernah sekalipun mengembalikan perbuatan baikku.
Jadi untuk apa berbuat baik, Tuhan?
Toh nanti yang diingat oleh manusia-manusia itu hanyalah dosaku saja.
Susah sekali bagi mereka melepaskan kenangan buruk tentangku.
Yah, maksudku, untuk apa, Tuhan?

Begitu juga tentang kehadiran, Tuhan.
Aku begitu ingin mengetahui tujuanmu dalam misi ini.
Menghadirkan seseorang ke dalam dunia kami, lalu dengan cara apapun, menghilangkannya kembali.
Seenaknya membuat kita lupa akan seseorang yang membahagiakan dulu.
Huh.
Ah, tapi bohong, Tuhan. Kerdil-kerdil dungu itu berbohong.
Mana ada yang bisa melupakan kenangan seabreg-abreg begitu?
Mereka hanya pura-pura tidak mengenali kenangan itu, Tuhan.
Bukankah Tuhan tau?
Aku agak mual, Tuhan.
Aku mesti apa, agar tidak dilupakan?
Apakah ini perbuatanmu, Tuhan?
Membuat aku dilupakan,
Apakah itu juga hakmu?
Lalu apa hakku, Tuhan?
Aku bisa apa, Tuhan?
Yang kumiliki sekarang ini apa, Tuhan?

Ah, iya.
Aku pernah dengar.
Katanya, kesedihan muncul di dalam sepi, karena kurangnya rasa memiliki diri sendiri.
Apakah betul, Tuhan?
Lalu, jika aku selalu sedih, apakah itu alasannya, Tuhan?
Tapi jika aku tidak memiliki diriku sendiri, jadi apa yang kumiliki, Tuhan?
Oh, Tuhan.
Aku dilanda keheranan yang sangat besar kali ini.
Hm.
Aku juga suka berfikir.
Betapa indahnya menjadi dirimu, Tuhan.
Tidak menyukai suatu hal, lalu dengan mudah menghilangkannya.
Coba aku bisa seperti itu.
Mungkin dunia ini muat jika kuselipkan ke dalam gubug.

Ah, iya.
Kembali lagi pada pertanyaanku, Tuhan.
Untuk apa Engkau melakukan semua itu, Tuhan?
Maafkan aku Tuhan. Aku begitu lancang. Tidak sepantasnya bagiku menanyakan hal seperti itu padaMu, Tuhan.
Tapi apa yang harus kulakukan, Tuhan?
Siapa lagi yang harus kutanyakan?
Tak lagi aku mendapat kesempatan bertanya pada guru.
Bahkan gurupun sudah kewalahan melihat sikapku.
Apakah sikapku ini salah, Tuhan?
Jika memang salah, mengapa Engkau menanamkan jalan fikiran seperti ini pada diriku, Tuhan?
Apakah aku benar-benar salah?
Tidak.
Tidak mungkin aku salah.
Bagaimana ciptaan sempurna milik Tuhan bisa salah?
Mengapa Engkau menciptakanku, jika semua yang kulakukan adalah salah?
Bagaimana jika semua orang yang berkata bahwa aku salah, sebenarnya adalah orang-orang yang salah?

Tuhan, aku mual.
Mungkin sampai segini saja aku bercerita.
Mungkin sampai segini saja aku bertanya.
Semoga saja Kau dengan senang hati menjawab satu-persatu pertanyaan naifku dalam mimpi nanti.
Tak perlu juga Engkau buru-buru masuk ke dalam mimpiku untuk menjawab semuanya.
Tak begitu penting, kok.
Ah, lagian, pasti Engkau sedang sibuk menjawabi pertanyaan-pertanyaan lain dari umatmu.

Segitu saja, Tuhan.
Maaf, hanya datang saat ada maunya.

Bien 21-10-2015 perempuan berkacamata dengan banyak pertanyaan.

Sabtu, 22 Agustus 2015

Yang lebih biru di banding lautan.

Apa yang lebih biru dibanding lautan?
Pertanyaan itu menghampiriku saat mencoba menghitung buih yang pecah. Aku mulai membilangnya saat berdiri di buritan kapal–semua hanya biru, putih, biru muda, laut, ombak, dan buih. Kubiarkan rambutku diterbangkan angin. Aku senang berada di sini. Tak ada penyesalan ketika aku memutuskan untuk berkunjung.
“Nona.” Seorang pria tersenyum sopan dan berdiri berjarak denganku. Dia tersenyum. “Rambut Anda sangat indah,” pujinya, menatapku hormat.
Aku mengembangkan senyum malu-malu. “Terima kasih.”
Dia terdiam sejenak, lalu pamit kepadaku. Pria itu menyeberangi buritan, menuju selasar di bagian kiri kapal. Saat itulah, aku mengingat lagi tujuanku ke sini. Sosok yang berdiri di tepi pagar teras itu menyita perhatianku. Sejak tadi dia berada di sana, dilewati orang-orang dan tak ada yang berhenti menyapanya. Kehadirannya mungkin tak terdeteksi, atau orang-orang memang tak punya alasan apa pun untuk menghampirinya.
Belum lama sejak pertemuan kami di toko buku. Aku datang lagi ke tempat itu tapi tak pernah menemukannya lagi. Aku yang belum pernah melintas menuju masa depan pun melakukannya, untuk tahu apakah benar yang dikatakannya bahwa kami akan bertemu lagi. Agak sulit untuk menemukannya sebab aku hanya tahu namanya saja. Aku mengunjungi banyak masa depan yang mungkin terjadi, seringkali kembali dengan tagan kosong dan di sinilah, akhirnya aku menemukannya.
Ini bahkan bukan masa depan. Aku mundur beberapa tahun dan hanya berbekal doa saja.
Barusan dia membalas pandanganku dan sekarang dia berjalan ke arahku. Aku memalingkan wajah, lebih malu daripada ketika dipuji oleh pria tak dikenal tadi.
Dia menyunggingkan senyumnya yang lembut. Memberiku tatapan matanya yang teduh. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aku terhenyak. Dia bicara kepadaku seakan-akan kami pernah bertemu. “A-aku mau mengunjungi adikku.”
Dia mendekat dan berdiri di sebelahku. Aku menggelung rambut panjangku yang berantakan. “Kamu, mau ke mana?”
“Aku menemani sahabatku untuk melamar dan menjemput kekasihnya,” jawabnya.
Aku mengangguk. Dia juga membisu, lalu menghadap lautan. “Laut membuatku takut,” bilangnya.
“Dia terlalu cantik dan kamu takut tergoda?”
Lelaki itu menundukkan kepalanya dan tersenyum. “Aku harap bisa berpikir begitu. Aku selalu merasa laut akan menculik orang-orang yang dicintainya. Menenggelamkan dalam kecantikannya.”
“Kami bisa berenang dan menyelamatkan diri,” balasku. Ya, berenang. Air menyerap sihir. “Kamu penyihir?”
Kami bertatapan, dia tak langsung menjawab.
“Tanganmu. Tangan penyihir selalu kelihatan berbeda.”
Alisnya terangkat. “Oh ya?”
Aku mengangkat tangan, mengedepankan telapaknya ke arah lelaki itu. “Seperti penulis yang bagian-bagian tertentu tangannya mengeras karena dipakai untuk memegang alat tulis terus-menerus. Penyihir, punya gerakan tangan luwes dan halus. Dan bentuk tangan mereka pelan-pelan berubah sesuai itu.”
Lelaki itu memperhatikanku dengan sungguh-sungguh. Aku menghela napas panjang. “Kamu tidak suka menggunakan kelompok mantra yang sama terus-menerus, kan?”
“Ya, aku menggunakan berbagai sumber dan aliran,” katanya dengan kagum. “Aku bisa melakukan sihir air.”
“Aku tidak tahu apakah kamu menggodaku atau menganggap aku bodoh. Yang tersisa dari sihir air hanya mitos.”
Dia tidak kentara tersinggung. Malah dia mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Pada telapak tanganya, terbaring kuda laut kering. Warnanya putih susu. “Untukmu.”
Aku hanya diam.
“Kamu menginginkannya. Kamu bilang kepadaku.”
Aku merasa tak pernah.
“Pernahkah kamu bangun pagi dan tiba-tiba merasa merindukan seseorang yang tak pernah benar-benar kamu temui?” ujarnya. “Seolah-olah orang itu menyusup dalam masa lalumu dan menambahkan diri di sana. Dan kamu bertanya-tanya, mana ingatanmu yang sebenarnya–apakah aku seharusnya ada di kapal ini sendiri atau bersamamu?”
Aku menahan napas, tak bisa lepas dari pandangannya. “Maaf, aku hanya ingin tahu tentangmu, Hadrian.”
Sesaat kukira dia akan marah, namun tatapanya melembut. “Aku menunggu momen-momen ini, Arcadia,” katanya menarik tanganku dan meletakkan kuda laut itu di sana.
“Mengapa tidak datang saja langsung menemuiku?” tanyaku.
“Aku harus menunggu. Saat yang tepat.” Dia berdiri makin dekat denganku. “Apa saja yang sudah kamu lihat?” tanyanya.
“Kita bersama. Kita berpisah. Tapi kita akan bersama.” Aku menjawabnya dengan hangat. Meski ada masa depan yang kusembunyikan darinya. Satu yang sempat kukunjungi–yang membuatku tahu kami terjebak dalam tragedi dan saling menyalahkan pengetahuan kami. Aku menggigit bibir saat mengenang itu. Masa depan mana pun yang akan ada bagi kami, aku akan menjalani bersamanya.
Apa yang lebih biru dibanding lautan?
Kini aku mengetahui jawabannya. Sesaat lalu, ketika dia mengecup bibirku. Aku mengelus rahangnya yang kasar. Seluruh wajahku menghangat oleh deru napasnya. Kupejamkan mataku sejenak dan ciuman ini sungguh terasa akrab. Aku membuka mataku lagi, menatap mukanya yang tak berjarak. Memandang langit biru yang menjadi latar kami. Dan lautan, ombak, serta buih. Namun ada yang lebih biru dari semua itu.
Kedua bola matanya.
Aditiayudis#

Minggu, 14 Juni 2015

Bulan Di Siang Hari

Di persimpangan jalan menuju rumahmu.


Padahal baru saja kemarin kita bercanda guaru, sekarang kau minta aku untuk datang sepagi ini menuju rumahmu ?
'Ree ke rumahku sekarang juga ya, penting'. begitu isi pesan yang ku terima pukul 03.15 dini hari.

Entah apa yang terjadi atau engkau rasakan ran, sebegitunya kah engkau rindukan aku setelah perbincangan kita selesai malam itu, bahwasanya kamu bersikokoh kalo malaikat itu mendatangimu dan bercerita banyak hal tentang hidup di atas awan sana. bahwa alasan warna biru di langit ada karena tempat tinggal malaikat yang tenang itu.

Fajar, iyah benar sekarang masih berada dalam waktu fajar menuju tempat tinggalmu, setelah pesan yang baru aku baca sehabis solat subuh di kala fajar itu, entah kenapa aku juga langsung ingin bertemu denganmu rana. 

Aku memang tidak membawa banyak barang seperti biasanya, aku hanya memarkirkan sepedah motorku di masjid lalu berangkat membeli tiket di loket commuter line menuju tempatmu, aku memang sudah menjadi biasa bahkan amat sangat menikmati perjalanan di commuter line semenjak kita dekat.

' mba yani mau pergi, kamu cepet kesini ya '. Begitu pesan tambahan setibanya aku sampai di stasiun dekat rumahmu itu, lekas terpintas olehku berbagai macam fikiran yang membuatku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa semua baik baik saja. Mba yani adalah sosok kakak untuk rana setiap kalo berbincang pasti di selipkan nama mba yani dan sepucuk kalimat kekagguman layaknya seorang penggemar.

setelah aku memutuskan untuk naik ojek ke rumahnya dan di jalan telfonku menandakan ada nada panggilan darimu Rana, dan perbincangan itu tidak lama dan tidak banyak kalimat utnutk membuatku lemas setelah apa yang berusaha tidak untuk ku yakini itu makin mendekati pikiran itu. banyak suara orang di sekitar rana terdengar oleh suara telfon kita sepagi ini. mba rana pergi nyusul duluan ree.

Aku memutuskan untuk berhenti di persimpangan jalan dekat rumahmu, dan yang ku fikirkan hanya sosok 3 anak. kakak beradik yang di tinggal kedua orang tuanya dan tetap memutuskan untuk melanjutkan hidup mereka dengan senyum semanis itu. rana bercerita kalo rana dan kakaknya adalah sumber kehidupan untuk yudha, adik rana yang masih duduk di kelas 2 sekolah menengah pertama itu.

Aku adalah bulan dan mba rana itu matahari ree, yudha akan belajar banyak dari kami. Begitu kurang lebih percakapan yang aku ingat sebelum kita membahas tentang malaikat yang hidup di atas awan.

Karena tidak akan mudah hidup tanpa matahari, begitu juga bulan yang butuh sinarNya, tetapi hidup itu bukan kita di pilih menjadi apa, kamu yang memilih  jadi apa.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan ke rana walau aku tau dia tidak akan membacanya sekarang.

' Kamu sekarang matahari ran, yang pernah merasakan gelapnya malam tanpaNya '

 Ree 14-06-2015

Minggu, 03 Mei 2015

Ujung Muara 08-006-124-5

Selesai juga masa Sekolah Sma ku.

Seperti yang kita tau bahwa anak sekolah di indonesia pada akhir pendidikanya di suatu lembaga itu akan di uji dengan Ujian Nasional seperti tahun sebelumnya, termaksuk aku Perserta 08-006-124-5 tahun 2015

Tepat sekarang persis tulisan di bawah ini aku buat saat ujian terakhirku yaitu dengan pelajaran ekonomi jam 11.24 WIB saat aku sadar bahwa ini adalah menit terakhirku menjadi siswa resmi dari sekolahku.


Bahkan di menit terakhir saat ini aku mengenangmu,

Kei, kamu tahu pasti dari apa yang menjadi  ujung dari cerita ini, seperti kamu tau bahwa waktu akan merubah sesuatu. betul kei cerita ini untuk mengaitkan kepada cerita yang lain.


Bukankah waktu bergulir begitu cepat selagi kamu  meminum atau lebih tepatnya menyeruput teh atau bahkan kopi yang masih panas itu.

Perpisahan,

Kei, kamu tidak asing dengan kalimat itu kan ? " Akhir yang indah untuk di kenang dan memulai sesuatu yang baru. " Begitu bukan lebih kurangnya kalimat yang sempat terucap dari bibir manismu itu kei ? Bukankah meninggalkan  hanya menanam benih kerinduan yang mendalam sebelum bermuara dalam pertemuan ?

Sampai berjumpa dalam manisnya ujung muara teh hangat itu atau nikmatnya ujung muara kopi hitam itu kei. Sampai pada akhirnya benih itu tumbuh atau bahkan mati dalam ujung muara pertemuan.


Ree 15-04-2015 Pukul 11.24 WIB Saat pelajaran ekonomi dengan tulisan di buat di kertas coretan ekonomi.

Jumat, 10 April 2015

Loteng dan kucing penikmat senja

Sewaktu sore yang ke kunging kuningan,


Terkadang yang manusia butuhkan itu sesuatu yang mungkin bahkan dia sendiri tidak bisa jelaskan dengan kata, bahkan batin. mungkinkah kamu juga mengalaminya sebagaimana manusia lainya ?

Teruntuk adiku rei,
yang sedih bukan main untuk sesuatu yang dia sendiri tidak paham jelasnya, yang merengek semalaman minta di temani oleh ibu untuk mengantarkanya terlelap menuju alam mimpinya.

Adiku rei bukan seseorang yang seperti kebanyakan anak lain, dia lebih pendiam dan memilih untuk di rumah saja ketimbang harus main dengan teman temanya di luar sana. gak seru katanya.

Sore itu di saat yang lain atau bahkan kamu sedang bersiap menuju malam dengan membersihkan diri atau bahkan jalan jalan bersama orang yang di cinta untuk menikmati langit yang kekuning kuningan itu berdua saja.

Adiku Rei melakukan hal yang menjadi rutinitasnya yang di lakukan selagi menikmati sore hari dalan hidupnya, yakini bermain di loteng atas rumahnya bersama kucingnya yang ia beri nama bob, yang aku tau mereka berdua seperti sudah kenal lama sekali, akupun tidak satu dua kali mendapati rei mengobrol dengan kucingnya dan kucingnya membalas dengan mengeong kepada rei.

Entah dari mana asal usul bob hadir di dalam hidup rei, hampir setiap sorenya. ada kala waktu itu rei sakit terbaring lemas di kamar selagi aku membawakan air hangat, dia menyebut nama bob seolah mengigau dalam tidurnya sore itu, lalu aku tidak menggangunya dan adiku itu berkata 
" kenapa langit sore yang kuning itu begitu cepat berlalu ya bob ". dengan keringat dingin di tubuhnya, lalu dia tersenyum dalam tidurnya sore itu.


Akhir akhir ini rei tidak lagi menuju loteng di sore harinya, dia mulai bermain bersama temanya di lapangan dekat rumah, akupun naik ke loteng sore itu dan kudapati tidak ada lagi sosok kucing bob yang rei ceritakan, aku hanya melihat langit yang memang indah sekali sore ini, aku tidak menyangka adiku menikmati ini hampir setiap sorenya. Senjaku yang sudah lama berlalu


Tiba tiba dari tangga muncul rei menuju loteng " cari apa kak tumben sore gini ke loteng ". aku yang kaget kedatangan rei sehabis main itu
kemana kucing kamu si bob ?
ooh bob udah gak pernah kesini lagi kak. jawabnya dengan paras sedih.

Dan kami berbincang cukup lama tentang kepergian bob yang tidak pernah kembali lagi, dan rei bercerita bahwa bob mengajarkanya tentang sore ke kuning kuningan itu, rei bilang bob ngasih tau kalo sore ini namanya senja dan rei bertanya banyak padaku.

Dan aku terteguk pada kata kata yang mungkin di karang oleh seorang anak kecil berumur 13 tahun yang bilang ia di beritahu oleh seekor kucing yang tidak pernah kembali lagi. entahlah.

"Langit sore ke kuning kuningan itu namanya senja dan disana adalah tempat yang indah sekali sehingga kita melihatnya dengan damai, tempat dimana orang yang sudah meninggal beristirahat dengan tenang disana, dan senja mengajarkan hidup itu cepat berlalu, seperti kita. "

Aku menambahinya dengan senyuman dan menambahkan sebuah kalimat yang membuatnya juga tersenyum.

" Ada juga satu yang tidak akan cepat berlalu tapi juga indah dan damai seperti senja, kisah kita menatap senja. "

Ree.

Sabtu, 14 Maret 2015

Puisi untuk sepi.

Dikala nyanyian murahan mengetuk hatimu,

Entah apa yang dikatakan oleh sastrawan bahkan seniman ketika kata cinta sudah tidak memandang bulu, anak seusia sekolah dasarpun sekarang bisa menyimpulkan cinta dari pola fikirnya sendiri.

atau bahkan ketika ketika kesunyian menghampirimu ? apakah umur menjadi sebuah patokan untuk segalanya ? bahkan senimanpun mungkin merasa kesepian ?

Rinduku berubah lara
untung ia akhirnya sirna
dihabiskan api membara
kala senja menghidupi lara

Ketika api itu hilang
kenangan itu tetap saja membayang
tersembab menangis di teduhnya dahan

Dan saat semua telah mati
tersisa kau yang terdiam meratapi.
haha!
mampus kau di koyak-koyak sepi


aqu

Teh hangat lampau.

Malam hari ketika teh hangat ini sudah tidak lagi hangat,


Tidak semua orang dengan senangnya mengenang kenangan dengan begitu tenangnya, ada yang sampai ingin terus berada dan hidup di dalamnya, mungkinkah aku hidup dalam bayang atau mimpi ?

Malam tadi memang aku sengaja, menyisipkan waktu di balik doa untuk mengenang apa yang sudah ku lewati selama ini, dan itu tertuju padamu, laras. apa yang sedang kau lakukan disana ? masihkah kau menghitung banyaknya bintang ketika kau menuju tidurmu ?

Aku mengenal sosok laras sebagai satu fase di atas sahabat, karena kami mempunyai kesukaan dan hobi yang sama tentang bacaan kami, sehingga pada suatu waktu kami pernah menikmati teh hangat bersama lalu membicarakan soal kenapa teh ini terbuat dari daun yang sudah di peras habis lalu menjadi senikmat ini, apakah kita juga perlu di peras habis sehingga bisa di nikamti begitu nyata ?

hahaha ada ada saja kamu ben, menurutku semua ini bergantung bagaimana peracik teh ini membuatnya, bundaku kan memang pembuat teh yang handal.

jawabanya serta tawanya yang membuatku lebih betah berada di rumahnya sore ini, senja ini hampir sempurna dengan perbincangan yang di selingi oleh tawanya, entah kenapa aku sangat memperhatikan saat dia tertawa lalu tersenyum. sore itu ada yang lain selepas tawanya seperti tidak lepas, ada yang mengganjal, biasanya dia akan cerita sebelum aku bertanya, bahkan menceritakan apapun yang sedang ia fikirkan, terkesan bawel tetapi senyum itu membuatku menjadi penikmat serta pendengar yang baik baginya.

ada yang pengen kamu ceritain ras ?. dia hanya menggeleng dengan tatapan kosong, dan akupun menyimpulkan bahwa ini masalah yang belum ia mau ceritakan kepadaku, maka gegaslah aku pamit untuk pulang karena tidak ingin mengganggunya.


setibanya di rumah aku memang sengaja tidak ingin memberinya kabar sebelum dia mau menceritakanya kepadaku dan aku memutuskan untuk istirahat lebih awal karena esok aku harus berangkat lebih awal karena harus membereskan meja di kantor baruku.


Ben, tidak usah mencariku. semoga aku bisa memendam keluh kisahku selanjutnya, karena memang tidak ada yang bisa mendengar sebaik kamu, doakan aku ya.

Pesan singkat dari laras jam 2 pagi itu masih terasa sampai sekarang aku membacanya, aku fikir ia bercanda karena tidak bareng lagi denganku menuju toko buku kesukaanya, lantas akupun mendatangi rumahnya dan memutuskan untuk membatalkan membereskan mejaku.

keluarga mba laras pindah ke singapore mas, ooh ini mas ben ya ? mba laras nitip satu titian buat mas.

begitu kata tetangganya yang membuatku seolah kehilangan nafsu sarapan pagi ini, laras meninggalkan sebuah box berisi racikan teh dari ibunya dan di dalam box tersebut berisi tulisan serta novel.


ini teh sengaja aku minta buat banyak sama bunda, semoga kamu suka ya ben, dan itu novel yang belum kita bahas aku melihat kamu sangat suka yang ini. sampai bertemu ben. terimakasih.

once upon a love novel yang belum tuntas kami bahas menemani hari hariku tanpanya, terasa sunyi memang laras menonaktifkan nomernya, yasudahlah dia juga berpesan tidak mau di cari.

malam ini aku memutuskan membuat tehku sendiri, yang tidak kusadari teh ini tidak lagi sehangat waktu kita berbincang dahulu sembari tertawa.

kau memang benar ras, ibumu meracik anak yang lebih dari sekedarku nikmati, bahkanku kenang. tetapi setiap orang bebas membuat tehnya sendirikan ? begitu juga memilih takdirnya tanpa perlu di peras habis untuk kamu nikmati sendiri.

Ree