Rabu, 21 Oktober 2015

Mengapa

Selamat malam, Tuhan.
Maafkan, kali ini datengnya pas ada maunya aja.
Tuhan sedang apa?
Tuhan ingat aku?

Hmm,
Iya, Tuhan. Aku berhenti basa-basinya.
Aku kembali ingin bertanya, Tuhan.
Setiap kali berbicara padamu, pasti aku ingin bertanya, Tuhan. Tak apa, ya? Jangan anggap aku menyebalkan ya, Tuhan. Aku tau, Engkaulah yang menciptakan alam semesta. Termasuk aku, serta kebebasanku dalam berfikir. Seluruhnya punyamu, Tuhan.

Begini, Tuhan.
Aku ingin bertanya.
Mengapa kau memilih membuat manusia berfikir bahwa mawar adalah lambang cinta?
Kenapa bukan tulip, melati, bunga sepatu, atau lainnya?
Atau..
Mengapa kau memilih membuat seluruh otak manusia berbeda?
Termasuk jalan fikiran mereka.
Aduh, Tuhan.
Rasanya ingin menenggelamkan diri dalam-dalam ketika mencoba memahami mereka satu-persatu.
Bukankah Engkau juga lelah, Tuhan?
Melihat satu persatu perbuatan hambamu?
Aku suka berfikir, sebenarnya, aku hidup untuk apa?
Banyak orang bilang, aku hidup untuk kembali padamu. Untuk menyebarkan kebaikan. Memberikan semua orang kebajikan yang aku punya.
Tapi seringkali, perbuatan baikku tak dihargai, Tuhan.
Bahkan mereka tak pernah sekalipun mengembalikan perbuatan baikku.
Jadi untuk apa berbuat baik, Tuhan?
Toh nanti yang diingat oleh manusia-manusia itu hanyalah dosaku saja.
Susah sekali bagi mereka melepaskan kenangan buruk tentangku.
Yah, maksudku, untuk apa, Tuhan?

Begitu juga tentang kehadiran, Tuhan.
Aku begitu ingin mengetahui tujuanmu dalam misi ini.
Menghadirkan seseorang ke dalam dunia kami, lalu dengan cara apapun, menghilangkannya kembali.
Seenaknya membuat kita lupa akan seseorang yang membahagiakan dulu.
Huh.
Ah, tapi bohong, Tuhan. Kerdil-kerdil dungu itu berbohong.
Mana ada yang bisa melupakan kenangan seabreg-abreg begitu?
Mereka hanya pura-pura tidak mengenali kenangan itu, Tuhan.
Bukankah Tuhan tau?
Aku agak mual, Tuhan.
Aku mesti apa, agar tidak dilupakan?
Apakah ini perbuatanmu, Tuhan?
Membuat aku dilupakan,
Apakah itu juga hakmu?
Lalu apa hakku, Tuhan?
Aku bisa apa, Tuhan?
Yang kumiliki sekarang ini apa, Tuhan?

Ah, iya.
Aku pernah dengar.
Katanya, kesedihan muncul di dalam sepi, karena kurangnya rasa memiliki diri sendiri.
Apakah betul, Tuhan?
Lalu, jika aku selalu sedih, apakah itu alasannya, Tuhan?
Tapi jika aku tidak memiliki diriku sendiri, jadi apa yang kumiliki, Tuhan?
Oh, Tuhan.
Aku dilanda keheranan yang sangat besar kali ini.
Hm.
Aku juga suka berfikir.
Betapa indahnya menjadi dirimu, Tuhan.
Tidak menyukai suatu hal, lalu dengan mudah menghilangkannya.
Coba aku bisa seperti itu.
Mungkin dunia ini muat jika kuselipkan ke dalam gubug.

Ah, iya.
Kembali lagi pada pertanyaanku, Tuhan.
Untuk apa Engkau melakukan semua itu, Tuhan?
Maafkan aku Tuhan. Aku begitu lancang. Tidak sepantasnya bagiku menanyakan hal seperti itu padaMu, Tuhan.
Tapi apa yang harus kulakukan, Tuhan?
Siapa lagi yang harus kutanyakan?
Tak lagi aku mendapat kesempatan bertanya pada guru.
Bahkan gurupun sudah kewalahan melihat sikapku.
Apakah sikapku ini salah, Tuhan?
Jika memang salah, mengapa Engkau menanamkan jalan fikiran seperti ini pada diriku, Tuhan?
Apakah aku benar-benar salah?
Tidak.
Tidak mungkin aku salah.
Bagaimana ciptaan sempurna milik Tuhan bisa salah?
Mengapa Engkau menciptakanku, jika semua yang kulakukan adalah salah?
Bagaimana jika semua orang yang berkata bahwa aku salah, sebenarnya adalah orang-orang yang salah?

Tuhan, aku mual.
Mungkin sampai segini saja aku bercerita.
Mungkin sampai segini saja aku bertanya.
Semoga saja Kau dengan senang hati menjawab satu-persatu pertanyaan naifku dalam mimpi nanti.
Tak perlu juga Engkau buru-buru masuk ke dalam mimpiku untuk menjawab semuanya.
Tak begitu penting, kok.
Ah, lagian, pasti Engkau sedang sibuk menjawabi pertanyaan-pertanyaan lain dari umatmu.

Segitu saja, Tuhan.
Maaf, hanya datang saat ada maunya.

Bien 21-10-2015 perempuan berkacamata dengan banyak pertanyaan.